Amerika Serikat sudah bersiap untuk meredam monopoli Google di ranah smartphone dengan berbagai cara. Namun, bagaimana dengan Indonesia?
Pangsa pasar smartphone global beberapa tahun belakangan ini didominasi oleh beberapa nama besar, seperti Samsung, Apple, Xiaomi, vivo, OPPO, dan lainnya. Namun, dari sekian banyak merek, ada satu hal yang terasa sama saat kita membuka box smartphone untuk pertama kali, yakni kehadiran Google.
Ya, sistem operasi Android saat ini mendominasi pasar Dalam beberapa penelitian, salah satunya yang dikeluarkan oleh StatCounter Global Stats, Android memiliki pangsa pasar sebesar 71,62 persen, sedangkan iOS hanya 27,75 persen.
Kenyataan ini membuat beberapa Hakim federal Amerika Serikat geram. Salah satu orang yang vokal terkait hal tersebut adalah Amit Metha. Dia menyatakan dukungannya terhadap Departemen Kehakiman AS.
Soalnya, Departemen Kehakiman AS menyebut kontrak yang digunakan Google dianggap melanggar undang-undang persaingan yang adil. Oleh karena itu, dia harus mencari cara untuk mengurangi dampak monopoli ini dengan serius.
Ada beberapa pendekatan yang dipikirkan oleh Mehta untuk mengurangi hal tersebut. Dia juga bahkan telah menjadwalkan sidang pada September mendatang untuk mengatasi hal ini. Tapi, ini bukan pertarungan yang mudah untuk dilakukan.
Namun, seperti dilansir dari laman Wired (7/8), beberapa ahli telah mengungkapkan solusi yang mungkin bisa efektif untuk meredam monopoli Google. Dimulai dari larangan pembagian pendapatan.
Untuk diketahui, pengadilan AS secara umum mencoba menyelesaikan pelanggaran antimonopoli dengan memerintahkan diakhirinya perilaku ilegal, menetapkan aturan untuk mencegahnya terulang kembali, dan mengambil tindakan tambahan yang diperlukan untuk memastikan pelaku dan pesaingnya dipindahkan ke posisi yang setara.
Nah, untuk memenuhi tujuan ini, Mehta secara luas diperkirakan akan melarang Google melanjutkan pengaturan di mana ia membagi pendapatan iklan puluhan miliar dolar di antara Apple, Samsung, Mozilla, dan perusahaan lain yang setuju untuk menetapkan Google sebagai pencarian default pada perangkat atau perangkat lunak mereka.
“Minimal, Departemen Kehakiman akan meminta perintah pengadilan yang melarang Google melakukan tindakan yang dianggap tidak pantas oleh pengadilan,” kata William Kovacic, yang sebelumnya menjabat sebagai regulator anti monopoli di Komisi Perdagangan Federal AS.
Pengadilan pun dapat mengeluarkan perintah untuk melarang Google untuk menggunakan kekuatan ekonominya dan memberikan kesempatan untuk mesin pencari yang berskala lebih kecil dari mereka, seperti Bing, DuckDuckGo, atau Ecosia menjadi mesin pencarian default di perangkat Android.
Namun, hal ini juga menjadi hal yang sulit karena pengguna internet sudah terbiasa menggunakan Google. Bahkan, di Bing, pencarian teratas yang dilakukan oleh pengguna adalah mencari “google.com”, bukan apa yang mereka ingin cari.
Hal kedua yang dapat dilakukan adalah mengikuti jejak Uni Eropa. Soalnya, negara tersebut sudah selama bertahun-tahun mengharuskan Google menawarkan menu opsi pencarian pada perangkat Android, dan baru-baru ini memperluas aturan tersebut ke peramban Chrome.
Lalu, ada juga pilihan untuk melakukan divestasi. AS sendiri telah melakukan hal tersebut Saat melakukan pembubaran perusahaan telepon raksasa Bell pada tahun 1980-an, yang menciptakan berbagai perusahaan independen, termasuk AT&T.
Ada juga opsi memaksa Google untuk berbagi. Mehta menemukan dalam penilaiannya bahwa Google memberi pengguna pengalaman yang unggul karena menerima miliaran lebih banyak kueri dibanding mesin pencari lainnya, dan data tersebut mendorong peningkatan algoritma yang memutuskan hasil mana yang akan ditampilkan untuk kueri tertentu.
Data potensial yang dapat dibagikan dapat mencakup semua kueri yang dijalankan pengguna di Google dan hasil mana yang mereka klik, kata Bazbaz dari DuckDuckGo.
Pilihan lain adalah Google menyimpan datanya, sementara sebaliknya menyediakan layanan tanpa diskriminasi, dengan dukungan pelanggan yang memadai, bagi aplikasi lain untuk menarik hasil dari Google dan menyajikannya kepada pengguna sebagai bagian dari pengalaman yang bersaing. Para pesaing menyebut penawaran Google yang ada dalam hal ini tidak memadai.
Terakhir, AS dapat melakukan peningkatan pengawasan. Departemen Kehakiman harus mengusulkan solusi potensial kepada Mehta, yang kemudian akan dibantah Google. Tidak ada pihak yang telah memberikan gambaran awal tentang apa yang diinginkannya.
Dalam beberapa pertempuran antimonopoli lainnya, Google telah menemukan cara untuk merancang perubahan produk dan kebijakan guna terus membatasi persaingan, sebagian dengan membuat persaingan menjadi tidak terjangkau bagi para pesaing.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia?
Saat ini, Indonesia tampaknya masih belum serius dalam menanggapi monopoli Google. Di Indonesia sendiri, menurut data We Are Social, pada 2024, jumlah pengguna mesin pencari Google ada di kisaran 95,3 persen. Bing di sisi lain hanya 1,4 persen, disusul Yandex 1,1 persen.
Seperti di pasar global, pangsa pasar di Indonesia juga masih didominasi oleh pengguna Android. StatCounter Global Stats pada awal 2024 menyebutkan bahwa pangsa pasar smartphone Android di Indonesia sebesar 87,85 persen, sedangkan pengguna perangkat berbasis iOS sebesar 12,03 persen.
Pemerintah Indonesia seharusnya semakin aware dengan monopoli yang dilakukan oleh Google, seperti beberapa negara lain di dunia. Soalnya, pengguna internet di Indonesia menurut We Are Social pada awal 2024 lalu mencapai 185,3 juta, dan diprediksi akan terus meningkat.
Di sisi lain, penetrasi smartphone juga mencapai 98,9 persen pengguna internet secara keseluruhan, dengan peningkatan 0,6 persen jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Jumlah ini juga diprediksi akan terus meningkat di tahun mendatang.