Akankah teknologi pembangkit listrik tenaga surya berbasis luar angkasa akan menjadi alternatif baru menggantikan pembangkit listrik berbasis angin, air, surya, dan nuklir?
Mencari solusi pembangkit listrik terbarukan memang tak mudah. Saat ini, solusi terbaik yang dapat kita terapkan adalah teknologi pembangkit listrik tenaga angin, air, surya, dan nuklir. Tapi, seperti diketahui, ada banyak tantangan yang harus dibenahi terkait beberapa solusi yang satu ini.
Pembangkit listrik tenaga angin, air, dan surya memiliki tantangan yang cukup besar, yakni teknologi yang satu ini tidak dapat bekerja 24/7. Sedangkan teknologi nuklir, hingga saat ini masih belum ada jaminan teknologi yang satu ini benar-benar aman.
Memang, ada beberapa solusi yang muncul untuk menggantikan beberapa tipe pembangkit listrik di atas. Salah satu solusi yang muncul adalah dengan memanfaatkan tenaga surya berbasis luar angkasa. Hal ini dikarenakan tenaga surya luar angkasa memiliki potensi yang sangat tinggi untuk dapat menghasilkan energi listrik.
Tapi, apakah solusi yang satu ini bisa menjadi salah satu jawaban untuk memerangi perubahan iklim? Untuk menjawab hal tersebut, para ahli dari Space Solar, Badan Antariksa Eropa, dan Universitas Glasgow sudah memiliki pandangan mereka tersendiri.
Jika kalian belum tahu, solusi untuk memancarkan energi matahari dari luar angkasa bukanlah hal baru. Satelit telekomunikasi telah mengirimkan sinyal gelombang mikro yang dihasilkan oleh tenaga surya kembali ke Bumi sejak tahun 1960-an. Namun, mengirimkan sejumlah daya yang berguna adalah hal yang sama sekali berbeda.
“Idenya [telah] ada selama lebih dari satu abad,” kata Nicol Caplin, ilmuwan eksplorasi luar angkasa di ESA. “Konsep aslinya memang fiksi ilmiah. Idenya berakar pada fiksi ilmiah, tetapi sejak saat itu, ada tren ketertarikan yang muncul dan menghilang.”
Para peneliti pun saat ini tengah meneliti berbagai desain untuk tenaga surya berbasis luar angkasa. Matteo Ceriotti, dosen senior bidang teknik sistem luar angkasa di Universitas Glasgow, menulis di The Conversation bahwa mereka sudah mengusulkan cukup banyak gagasan desain yang kemungkinan akan bekerja.
Menurut Sanjay Vijendran, pimpinan inisiatif Solaris di ESA, inisiatif Solaris tengah menjajaki dua kemungkinan teknologi: satu yang melibatkan penyinaran gelombang mikro dari stasiun di orbit geostasioner ke penerima di Bumi dan satu lagi yang melibatkan penggunaan cermin besar di orbit yang lebih rendah untuk memantulkan sinar matahari ke ladang surya.
Ia mengatakan bahwa menurutnya kedua solusi ini berpotensi berharga. Teknologi gelombang mikro telah menarik minat yang lebih luas dan menjadi fokus utama wawancara ini. Teknologi ini memiliki potensi yang sangat besar, meskipun gelombang radio frekuensi tinggi juga dapat digunakan.
“Anda benar-benar memiliki sumber daya bersih 24/7 dari luar angkasa,” kata Vijendran. Daya tersebut dapat disalurkan tanpa memandang kondisi cuaca karena frekuensi gelombang mikro.
“Pembangkit listrik berkapasitas 1 gigawatt di luar angkasa akan sebanding dengan lima pembangkit listrik tenaga surya teratas di bumi. Pembangkit listrik dengan kapasitas 1 gigawatt dapat menyediakan listrik untuk sekitar 875.000 rumah tangga selama satu tahun,” kata Andrew Glester, pembawa acara podcast Physics World.
Namun, saat ini masih belum siap untuk menyebarkan berita terkait teknologi ini. “Ini akan menjadi tantangan teknik yang besar,” kata Caplin. Ada sejumlah rintangan fisik yang terlibat dalam membangun stasiun tenaga surya di luar angkasa dengan sukses.
Dengan menggunakan teknologi gelombang mikro, susunan surya untuk stasiun daya yang mengorbit dan menghasilkan daya sebesar satu gigawatt harus berukuran lebih dari 1 kilometer persegi, menurut artikel Nature yang ditulis oleh reporter senior Elizabeth Gibney.
“Ukuran ini lebih dari 100 kali ukuran Stasiun Luar Angkasa Internasional, yang dibangun selama satu dekade,” tulis Elizabeth. Itu juga perlu dirakit secara robotik, karena fasilitas yang mengorbit itu tidak akan memiliki awak.
Sel surya harus tahan terhadap radiasi dan serpihan luar angkasa. Sel surya juga harus efisien dan ringan, dengan rasio daya terhadap berat 50 kali lebih besar daripada sel surya silikon biasa, tulis Gibney.
Menjaga biaya sel surya ini tetap rendah merupakan faktor lain yang harus dipertimbangkan oleh para insinyur. Mengurangi kerugian selama transmisi daya merupakan tantangan lain, tulis Gibney. Tingkat konversi energi perlu ditingkatkan menjadi 10–15 persen, menurut ESA. Teknologi ini tentunya memerlukan kemajuan teknis yang cukup banyak.
Space Solar tengah menggarap desain satelit yang disebut CASSIOPeiA, yang digambarkan Physics World sebagai “tangga spiral, dengan panel fotovoltaik sebagai ‘tapak’ dan pemancar gelombang mikro (sebuah dipole berbentuk batang) sebagai ‘anak tangga’.” Bentuknya heliks tanpa bagian yang bergerak.
“Sistem kami terdiri dari ratusan ribu modul daya seukuran piring makan. Setiap modul memiliki PV yang mengubah energi matahari menjadi listrik DC,” kata Sam Adlen, CEO Space Solar.
“Daya DC tersebut kemudian menggerakkan perangkat elektronik untuk mengirimkan daya ke bawah menuju Bumi dari antena dipole. Daya di luar angkasa tersebut diubah menjadi [gelombang mikro] dan dipancarkan dalam bentuk sinar yang koheren ke Bumi, yang kemudian diterima oleh antena penyelaras, diubah kembali menjadi listrik, dan disalurkan ke jaringan listrik,” jelas Adlen.
Adlen mengatakan bahwa teknologi robotika untuk aplikasi luar angkasa, seperti perakitan di orbit, berkembang pesat.
Di sisi lain, Ceriotti menulis bahwa SPS-ALPHA, desain lain dari teknologi ini, memiliki struktur kolektor surya besar yang mencakup banyak heliostat, yang merupakan reflektor kecil modular yang dapat dipindahkan secara individual.
Reflektor ini memusatkan sinar matahari ke modul pembangkit daya yang terpisah, kemudian mengirimkannya kembali ke Bumi oleh modul lainnya.
Teknologi yang satu ini juga memiliki keuntungan dari sisi keamanan penggunaan. Memang, rencana ini melibatkan fluks besar radiasi gelombang mikro atau radio. Namun, tenaga surya berbasis ruang angkasa relatif aman jika dibandingkan dengan teknologi lain, terutama jika berbicara mengenai reaktor nuklir.
“Untuk radiasi gelombang mikro dari instalasi tenaga surya berbasis ruang angkasa, satu-satunya dampak yang diketahui dari frekuensi tersebut pada manusia atau makhluk hidup adalah pemanasan jaringan,” kata Vijendran.
“Jika Anda berdiri di bawah pancaran sinar tersebut pada tingkat daya tersebut, itu akan seperti berdiri di bawah matahari sore,” sambungnya.
Namun, Caplin mengatakan bahwa diperlukan lebih banyak penelitian untuk mempelajari dampak gelombang mikro ini pada manusia, hewan, tumbuhan, satelit, infrastruktur, dan ionosfer.
Satu hal besar lain yang harus diperhatikan adalah bagaimana menyampaikan gagasan ini kepada publik. “Masih ada masalah persepsi publik yang harus diatasi, dan diperlukan keterlibatan yang kuat untuk memasarkannya dengan sukses,” kata Adlen.
Masalah lain, seperti serangan militer yang menggunakan tenaga surya berbasis ruang angkasa juga dapat menimbulkan kekhawatiran. Namun,Cerioti mengatakan bahwa pun jika stasiun tenaga surya berbasis ruang angkasa dibajak karena alasan militer, perangkat keras akan membatasi pancaran sinar ke intensitas yang aman sehingga tidak dapat digunakan untuk membahayakan manusia atau ekosistem di Bumi.
Hal lain selain masalah lingkungan juga memiliki beberapa masalah yang harus diselesaikan. Contohnya, akan ada gangguan pada sinyal komunikasi merupakan risiko potensial lainnya. Meskipun Gibney menulis bahwa frekuensi pancaran tidak akan mengganggu komunikasi pesawat, beberapa risiko fisik lainnya penting untuk dipertimbangkan.
Vijendran menyebut, puing-puing yang mengorbit seperti meteorit atau sampah antariksa dapat menghantam stasiun dan merusaknya. Jika dampak pada stasiun tenaga surya tersebut menghasilkan puing-puing, hal itu juga dapat menimbulkan masalah.
Ditambah lagi, perangkat keras itu sendiri harus dikeluarkan dari orbit ketika mencapai akhir masa pakainya. “ESA memiliki Inisiatif Antariksa Bersih. Apa pun yang kami kirim ke antariksa, kami harus memikirkan seluruh siklus hidupnya, dari lahir hingga meninggal,” kata Caplin.
Terakhir, proyek tersebut tetap akan berdampak pada lingkungan. Menempatkan perangkat keras pembangkit listrik tenaga surya di orbit, membangunnya, dan mengendalikannya akan menghasilkan polusi dan menggunakan bahan bakar dalam jumlah besar. Ratusan peluncuran mungkin diperlukan yang tentunya akan jadi perhatian bagi para pencinta lingkungan.
Masalah lainnya adalah dampak ekonomis. Biaya biasanya menjadi kendala utama dalam membangun stasiun tenaga surya luar angkasa sejauh ini, kata Caplin.
“Karena lanskap tersebut berubah dan biaya pengiriman ke luar angkasa menjadi lebih murah, kami dapat kembali mengajukannya. Uang berbicara. Kami mendapat saran dari dua studi independen tentang analisis biaya-manfaat, dan keduanya memutuskan bahwa hal ini dapat dilakukan,” ungkapnya.
Biaya tenaga surya berbasis ruang angkasa akan mencakup biaya produksi, biaya pemeliharaan, dan biaya peluncuran, kata Ceriotti.
“Kami perkirakan biayanya akan turun di masa mendatang,” kata Vijendran. “Kita dapat memulai dengan tenaga yang kompetitif dengan biaya yang kita keluarkan untuk tenaga nuklir saat ini, antara USD100 dan USD200 per megawatt-jam. Ini lebih tinggi daripada energi terbarukan yang terputus-putus seperti tenaga surya dan angin, tetapi memiliki peran penting karena dapat diandalkan dan tersedia 24/7,” jelas Ceriotti.
Vijendran di sisi lain mengatakan bahwa perkiraan biaya tenaga surya berbasis ruang angkasa pada akhirnya memang akan turun ke titik yang dapat bersaing dengan tenaga surya dan angin di Bumi, yaitu di bawah USD50 per megawatt-jam.
Menurut publikasi Badan Informasi Energi tahun 2022 tentang subjek ini, baik tenaga surya maupun angin darat menelan biaya sekitar USD20 hingga USD45 per megawatt-jam pada tahun 2021. Sedangkan menurut Adlen, biaya teknologi ini bisa jauh lebih rendah di masa depan, sekitar seperempat biaya tenaga nuklir.
SpaceX dan Blue Origin tengah merancang wahana peluncur yang dapat mengangkat beban berat. Komponen wahana ini dapat digunakan kembali, dan kapasitas serta kegunaannya yang tinggi dapat menurunkan biaya beberapa aspek konstruksi hingga 90 persen.
Jadi, apakah tenaga surya berbasis ruang angkasa akan dapat diwujudkan? ESA berencana untuk membuat keputusan tahun depan tentang tujuannya dalam mengembangkan stasiun ruang angkasa tanpa awak, kata Vijendran. Proses ini telah diperlambat oleh kurangnya dukungan finansial dari beberapa negara Eropa.
“Titik keputusan besar pertama adalah melakukan misi demo berskala kecil di luar angkasa untuk diluncurkan sekitar tahun 2030,” kata Vijendran.
Di luar ESA, Caltech telah menunjukkan purwarupa kecil yang mengubah sinar matahari menjadi tenaga listrik frekuensi radio dan mentransmisikannya sebagai sinar. Universitas tersebut telah meneliti peralatan tenaga surya berbasis ruang angkasa yang modular, dapat dilipat, dan sangat ringan.
“Menurut pandangan saya, dunia konektivitas telah berubah dari kabel menjadi nirkabel, jadi kita akan melihat dunia tenaga listrik bergerak ke arah yang sama,” kata Adlen. Kerja sama internasional akan menjadi kunci untuk menciptakan stasiun tenaga surya berbasis ruang angkasa jika proyek-proyek seperti ini terus berlanjut.