Jensen Huang menyebut bahwa AI adalah sebuah infrastruktur baru yang setara dengan energi dan komunikasi.
Di tengah skeptisisme global tentang potensi kecerdasan buatan (AI), CEO Nvidia Jensen Huang tetap optimistis dengan teknologi yang satu ini. Dia pun menggambarkan AI sebagai kekuatan yang akan mengubah tatanan komputasi dalam 60 tahun terakhir.
Hal ini dia ungkap dalam sebuah wawancara dengan Lauren Goode dari WIRED di acara The Big Interview. Huang menyatakan bahwa AI adalah infrastruktur digital baru, dimana menurutnya setara dengan energi dan komunikasi.
Meski menarik, topik yang satu ini memiliki tantangan tersendiri. Huang memiliki pekerjaan rumah yang cukup besar, yakni meyakinkan pemerintah dunia untuk menerima visinya, khususnya dalam menciptakan infrastruktur AI nasional yang independen.
Untuk melakukan hal tersebut, dia baru-baru ini melakukan perjalanan ke Thailand. Tujuannya adalah bertemu dengan Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra untuk membahas pengembangan infrastruktur AI kelas dunia.
Seperti diketahui, Thailand bergabung dalam daftar negara yang telah bermitra dengan Nvidia untuk membangun infrastruktur AI nasional mereka. Dia juga telah melakukan kunjungan ke Denmark, Jepang, Indonesia, dan India tahun ini sebagai bagian dari misinya memperluas jejak AI global Nvidia.
Melalui strategi ini, dia melihat kebutuhan negara-negara untuk mengamankan kedaulatan data mereka. AI telah menjadi komponen penting bagi keamanan nasional, budaya, dan ekonomi, dan banyak negara merasa perlu mengembangkan teknologi mereka sendiri, terpisah dari dominasi AS dan Tiongkok.
Ditambah lagi, seperti dilansir dari laman Wired (4/12), peran Nvidia menjadi semakin kompleks di tengah ketegangan antara AS dan China, dua negara dengan kekuatan teknologi terdepan. Baru-baru ini, pemerintahan Biden memberlakukan larangan ekspor komponen chip ke China, termasuk high-bandwidth memory (HBM) yang digunakan dalam chip AI seperti Nvidia H20.
Nvidia telah menghentikan pesanan chip H20 dari China sejak September, sebagai langkah antisipasi terhadap pembatasan tersebut. Meskipun menghadapi tantangan geopolitik, Huang tetap diplomatis, menyebut interaksinya dengan pemerintahan AS “sangat baik”, meski pernyataan ini disambut gelak tawa audiens di San Francisco.
Di sisi lain, Huang juga menyambut baik pemerintahan Donald Trump yang akan datang, meskipun ada ancaman tarif impor sebesar 25% dari Meksiko dan Kanada serta 10% dari Tiongkok. Tarif ini berpotensi mempengaruhi pabrik chip baru Nvidia di Meksiko.
Huang berjanji akan mendukung pemerintahan baru dan meyakinkan bahwa Nvidia siap bekerja sama untuk memajukan industri AI.
Gagasan Huang tentang AI berdaulat juga tampaknya semakin menarik bagi negara-negara yang merasa tersisih dari dominasi AS dan China. Dengan membangun infrastruktur AI sendiri, negara-negara ini dapat melindungi kepentingan nasional mereka.
CEO dari NVIDIA ini juga menekankan bahwa “data adalah sumber daya alam” yang merefleksikan pengetahuan, budaya, dan harapan bangsa.
Secara singkat, kesimpulannya adalah Jensen Huang tidak hanya ingin menjual chip saja, dia menawarkan visi AI sebagai infrastruktur kritis di era digital. Dalam konteks geopolitik yang penuh ketegangan, Nvidia menempatkan dirinya sebagai mitra strategis bagi negara-negara yang ingin membangun masa depan AI mereka sendiri, memperkuat peran AI sebagai pengubah permainan dalam masyarakat global.